Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Pemerintah atas nama Kementerian Agama RI berdasarkan hasil sidang
itsbat memutuskan bahwa hari raya Idul Fithri jatuh pada hari Rabu
31/08/2011. Inilah keputusan yang tepat karena hilal masih belum nampak.
Di Jogja terasa amat berat karena yang berhari raya dengan pemerintah
saat ini mungkin jadi minoritas. Dari tulisan kali ini kami akan
jelaskan mengenai pentingnya kebersamaan dalam hari raya dengan
memperhatikan keputusan Pemerintah.
Hari Raya Bersama Pemimpin dan Mayoritas Manusia
Jika salah seorang atau satu organisasi melihat hilal Ramadhan atau
Syawal, lalu persaksiannya ditolak oleh penguasa apakah yang melihat
tersebut mesti puasa atau mesti berbuka? Dalam masalah ini ada
perselisihan pendapat di antara para ulama.
Salah satu pendapat menyatakan bahwa ia mesti puasa jika ia melihat
hilal Ramadhan dan ia mesti berbuka jika ia melihat hilal Syawal. Namun
keduanya dilakukan secara sembunyi-sembunyi agar tidak menyelisih
mayoritas masyarakat di negeri tersebut. Inilah pendapat yang dipilih
oleh Imam Asy Syafi’i, salah satu pendapat dari Imam Ahmad dan pendapat
Ibnu Hazm. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
”Karena itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan (di negeri
tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan
tersebut.” (QS. Al Baqarah: 185)
Pendapat lainnya menyatakan bahwa hendaklah orang yang melihat hilal
secara bersendirian berpuasa berdasarkan hilal yang ia lihat. Namun
hendaklah ia berhari raya bersama masyarakat yang ada di negerinya.
Inilah pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan pendapat yang masyhur
dari Imam Ahmad.
Sedangkan pendapat yang terakhir menyatakan bahwa orang tersebut
tidak boleh mengamalkan hasil ru’yah, ia harus berpuasa dan berhari raya
bersama masyarakat yang ada di negerinya.Dalil dari pendapat terakhir
ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ
“Puasa kalian ditetapkan tatkala mayoritas kalian berpuasa, idul
fithri ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul fithri, dan idul adha
ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul adha.” (HR. Tirmidzi
no. 697, shahih).
Ketika menyebutkan hadits tersebut, Abu Isa At
Tirmidzi rahimahullah menyatakan, ”Sebagian ulama menafsirkan hadits ini
dengan mengatakan, “Puasa dan hari raya hendaknya dilakukan bersama
jama’ah (yaitu pemerintah kaum muslimin) dan mayoritas manusia
(masyarakat)”. ” Hadits di atas bukan dimaksud kita berhari raya dengan
masyarakat setempat, yang dimaksud adalah dengan jama'ah. Jama'ah adalah
dengan rakyat banyak di bawah keputusan penguasa. Sehingga keliru
pemahaman sebagian orang tentang hadits tersebut.
Pendapat terakhir ini menjadi pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
dan juga merupakan salah satu pendapat dari Imam Ahmad (Majmu’ Al
Fatawa, 25/114-115 dan lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/92).
Pendapat terakhir inilah pendapat yang kami nilai lebih kuat. Penjelasannya sebagai berikut.
Perlu diketahui bahwa hilal bukanlah sekedar fenomena alam yang
terlihat di langit. Namun hilal adalah sesuatu yang telah masyhur di
tengah-tengah manusia, artinya semua orang mengetahuinya.
Ibnu
Taimiyah rahimahullah menjelaskan, “Hilal asalnya bermakna kata zuhur
(artinya: nampak) dan rof’ush shout (meninggikan suara). [Artinya yang
namanya hilal adalah sesuatu yang tersebar dan diketahui oleh orang
banyak, -pen]. Jika hilal hanyalah nampak di langit saja dan tidak
nampak di muka bumi (artinya, diketahui orang banyak, -pen), maka
semacam itu sama sekali tidak dikenai hukum baik secara lahir maupun
batin. Akar kata dari hilal sendiri adalah dari perbuatan manusia. Tidak
disebut hilal kecuali jika ditampakkan. Sehingga jika hanya satu atau
dua orang saja yang mengetahuinya lantas mereka tidak mengabarkan pada
yang lainnya, maka tidak disebut hilal. Karenanya, tidak ada hukum
ketika itu sampai orang yang melihat hilal tersebut mengabarkan pada
orang banyak. Berita keduanya yang menyebar luas yang nantinya disebut
hilal karena hilal berarti mengeraskan suara dengan menyebarkan berita
kepada orang banyak.” (Majmu’ Al Fatawa, 25/109-110)
Beliau rahimahullah mengatakan pula, “Allah menjadikan hilal sebagai
waktu bagi manusia dan sebagai tanda waktu berhaji. Ini tentu saja jika
hilal tersebut benar-benar nampak bagi kebanyakan manusia dan masuknya
bulan begitu jelas. Jika tidak demikian, maka bukanlah disebut hilal dan
syahr (masuknya awal bulan). Dasar dari permasalahan ini, bahwa Allah
subhanahu wa ta’ala mengaitkan hukum syar’i -semacam puasa, Idul Fithri
dan Idul Adha- dengan istilah hilal dan syahr (masuknya awal bulan).
Allah Ta’ala berfirman,
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ
“Mereka bertanya kepadamu tentang hilal (bulan sabit).
Katakanlah: "Hilal (bulan sabit) itu adalah tanda-tanda waktu bagi
manusia dan (bagi ibadat) haji” (QS. Al Baqarah: 189) (Majmu’ Al Fatawa, 25/115-116)
Ibnu Taimiyah kembali menjelaskan, “Syarat dikatakan hilal dan syahr
(masuknya awal bulan) apabila benar-benar diketahui oleh kebanyakan
orang dan nampak bagi mereka. Misalnya saja ada 10 orang yang melihat
hilal namun persaksiannya tertolak. Lalu hilal ini tidak nampak bagi
kebanyakan orang di negeri tersebut karena mereka tidak
memperhatikannya, maka 10 orang tadi sama dengan kaum muslimin lainnya.
Sebagaimana 10 orang tadi tidak melakukan wukuf, tidak melakukan
penyembelihan (Idul Adha), dan tidak shalat ‘ied kecuali bersama kaum
muslimin lainnya, maka begitu pula dengan puasa, mereka pun seharusnya
bersama kaum muslimin lainnya. Karenanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
صَوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُومُونَ وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّونَ
“Puasa kalian ditetapkan tatkala mayoritas kalian berpuasa, idul
fithri ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul fithri, dan idul adha
ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul adha”
Imam Ahmad –dalam salah satu pendapatnya- berkata,
يَصُومُ مَعَ الْإِمَامِ وَجَمَاعَةِ الْمُسْلِمِينَ فِي الصَّحْوِ وَالْغَيْمِ
“Berpuasalah bersama pemimpin kalian dan bersama kaum muslimin
lainnya (di negeri kalian) baik ketika melihat hilal dalam keadaan cuaca
cerah atau mendung.”
Imam Ahmad juga mengatakan,
يَدُ اللَّهِ عَلَى الْجَمَاعَةِ
“Allah akan senantiasa bersama (yaitu memberi pertolongan) pada orang
yang berpegang teguh dengan jama’ah”. (Majmu’ Al Fatawa, 25/117). Yang
dimaksud jama'ah adalah pemerintah dan mayoritas manusia.
Tapi Bagaimana Jika Malaysia dan Timur Tengah Telah Melihat Hilal ?
Misalnya ketika di Saudi Arabia atau Malaysia sudah melihat hilal,
apakah mesti di Indonesia juga berlaku hilal yang sama? Ataukah
masing-masing negeri berlaku hilal sendiri-sendiri?
Berikut kami nukilkan keterangan dari para ulama yang duduk di Al
Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ (Komisi Tetap Riset
Ilmiah dan Fatwa Kerajaan Saudi Arabia).
Pertanyaan: "Bagaimana menurut Islam mengenai
perbedaan kaum muslimin dalam berhari raya Idul Fithri dan Idul Adha?
Mengingat jika salah dalam menentukan hal ini, kita akan berpuasa pada
hari yang terlarang (yaitu hari ‘ied) atau akan berhari raya pada hari
yang sebenarnya wajib untuk berpuasa. Kami mengharapkan jawaban yang
memuaskan mengenai masalah yang krusial ini sehingga bisa jadi hujah
(argumen) bagi kami di hadapan Allah. Apabila dalam penentuan hari raya
atau puasa ini terdapat perselisihan, ini bisa terjadi ada perbedaan dua
sampai tiga hari. Jika agama Islam ini ingin menyelesaikan perselisihan
ini, apa jalan keluar yang tepat untuk menyatukan hari raya kaum
muslimin?
Jawab: Para ulama telah sepakat bahwa terbitnya
hilal di setiap tempat itu bisa berbeda-beda dan hal ini terbukti secara
inderawi dan logika. Akan tetapi, para ulama berselisih pendapat
mengenai teranggapnya atau tidak hilal di tempat lain dalam menentukan
awal dan akhir Ramadhan. Dalam masalah ini ada dua pendapat. Pendapat
pertama adalah yang menyatakan teranggapnya hilal di tempat lain dalam
penentuan awal dan akhir Ramadhan walaupun berbeda matholi’ (wilayah
terbitnya hilal). Pendapat kedua adalah yang menyatakan tidak
teranggapnya hilal di tempat lain. Masing-masing dari dua kubu ini
memiliki dalil dari Al Kitab, As Sunnah dan qiyas. Terkadang dalil yang
digunakan oleh kedua kubu adalah dalil yang sama. Sebagaimana mereka
sama-sama berdalil dengan firman Allah,
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Karena itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan bulan (di
negeri tempat tinggalnya), maka hendaklah ia berpuasa pada bulan
tersebut.” (QS. Al Baqarah: 185)
Begitu juga firman Allah,
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ
“Mereka bertanya kepadamu tentang hilal (bulan sabit).
Katakanlah: "Hilal (bulan sabit) itu adalah tanda-tanda waktu bagi
manusia dan (bagi ibadat) haji.” (QS. Al Baqarah: 189)
Mereka juga sama-sama berdalil dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ
“Berpuasalah karena melihat hilal, begitu pula berhari rayalah karena melihatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Perbedaan pendapat menjadi dua kubu semacam ini sebenarnya terjadi
karena adanya perbedaan dalam memahami dalil.
Kesimpulannya bahwa dalam
masalah ini masih ada ruang untuk berijtihad. Oleh karena itu, para
pakar fikih terus berselisih pendapat dalam masalah ini dari dahulu
hingga saat ini.
Tidak mengapa jika penduduk suatu negeri yang tidak melihat hilal
pada malam ke-30, mereka mengambil ru’yah negeri yang berbeda matholi’
(beda wilayah terbitnya hilal). Namun, jika di negeri tersebut terjadi
perselisihan pendapat, maka hendaklah dikembalikan pada keputusan
penguasa muslim di negeri tersebut. Jika penguasa tersebut memilih suatu
pendapat, hilanglah perselisihan yang ada dan setiap muslim di negeri
tersebut wajib mengikuti pendapatnya. Namun, jika penguasa di negeri
tersebut bukanlah muslim, hendaklah dia mengambil pendapat majelis ulama
di negeri tersebut. Hal ini semua dilakukan dalam rangka menyatukan
kaum muslimin dalam berpuasa Ramadhan dan melaksanakan shalat ‘ied.
Hanya Allah yang memberi taufik. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
(Fatawa Al Lajnah Ad Da’imah Lil Buhuts Al ‘Ilmiyah wal Ifta’no. 388,
10/101-103. Yang menandatangani fatwa ini: Syaikh ‘Abdur Rozaq ‘Afifi
selaku wakil ketua; Syaikh Abdullah bin Mani’ dan Syaikh ‘Abdullah bin
Ghudayan selaku anggota)
Kesimpulan kami, hari raya bukanlah urusan ormas tertentu, bukan
urusannya wong cilik. Yang berhak angkat suara dan memutuskan adalah
pemerintah atas nama Kementrian Agama RI. Kami nasehatkan agar kaum
muslimin tetap berpegang teguh dengan jama'ah (pemerintah dan mayoritas
manusia).
Wallahu waliyyut taufiq.
0 komentar:
Posting Komentar